Senin, 03 Februari 2014

Tari Jaipong atau dikenal sebagai Jaipongan adalah tarian yang diciptakan pada tahun 1961 oleh Gugum Gumbira. Pada masa itu, ketika Presiden Soekarno melarang musik rock and roll  dan musik barat lainnya diperdengarkan di Indonesia, seniman lokal tertantang untuk mengimbangi aturan pelarangan tersebut dengan menghidupkan kembali seni tradisi. Tari Jaipong merupakan perpaduan gerakan ketuk tilu, tari topeng banjet, dan pencak silat (bela diri).
Ketuk tilu sangat populer di desa, tetapi pada saat itu dianggap buruk di kalangan perkotaan, karena gerakannya yang sensual, bahkan erotis. Tak jarang penari ketuk tilu merangkap juga sebagai pelacur. Dalam karyanya, Gugum Gumbira pada saat itu berusaha melestarikan bentuk dasar ketuk tilu, tetapi dengan tempo musik yang dipercepat. Sehingga  membuat penari menjadi lebih aktif. Ia juga mempertahankan bentuk tradisioanl ketuk tilu, di mana penari merangkap sebagai penyanyi, tetepi dipadukan dengan gamelan urban dengan ditambah suara kendang. Nama jaipong adalah onomatope dari suara kendang yang sering terdengar di antara tarian ini. Mulut penonton dan pemain musik biasanya meneriakan aksen tiruan dari suara kendang: ja-i-pong, ja-ki-nem, atau ja-i-nem. Ada juga yang mengatakan bahwa nama jaipong mengacu pada bunyi kendang: plak, ping, pong.
Pada awal kemunculannya, jaipong merupakan tarian modern yang berbeda dari tarian-tarian tradisional Sunda sebelumnya yang mengedepankan sopan santun dan kehalusan budi para penarinya. Penari (yang biasanya perempuan) bahkan menundukkan pandangannya, dan tak boleh menatap pasangannya. Lain dengan jaipong yang pada saat itu terpengaruh juga oleh budaya dansa Barat di ball room, penari diharuskan fokus menatap pasangannya sebagai bentuk komunikasi visual.    
Tari jaipong mulai ditampilkan di depan umum pada 1974 dalam Hong Kong Arts Festival, melibatkan penyanyi-penari Tatih Saleh, Gugum Gumbira sebagai koreografer, dan Nandang Barmaya, seorang musisi sekaligus dalang. Ketika itu pemerintah sempat berupaya melarang tarian ini karena dirasa cenderung amoral dan sensual. Tetapi alih-alih meredup, jaipong malah makin populer, terutama di era 80-an. Bentuk tari jaipong kala itu tidak lagi disajikan sebagai tarian pergaulan seperti ronggeng, tayub atau ketuk tilu, di mana posisi penonton sejajar dengan penari, tetapi sebagai tarian panggung. Jaipong biasa dilakukan oleh penari perempuan, tetapi bisa juga dilakukan secara berpasangan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar