Tari Jaipong atau dikenal sebagai Jaipongan adalah tarian yang diciptakan pada tahun 1961 oleh Gugum Gumbira. Pada masa itu, ketika Presiden Soekarno melarang musik rock and roll dan
musik barat lainnya diperdengarkan di Indonesia, seniman lokal
tertantang untuk mengimbangi aturan pelarangan tersebut dengan
menghidupkan kembali seni tradisi. Tari Jaipong merupakan perpaduan
gerakan ketuk tilu, tari topeng banjet, dan pencak silat (bela diri).
Ketuk tilu sangat populer di desa, tetapi pada saat itu dianggap
buruk di kalangan perkotaan, karena gerakannya yang sensual, bahkan
erotis. Tak jarang penari ketuk tilu merangkap juga sebagai pelacur.
Dalam karyanya, Gugum Gumbira pada saat itu berusaha melestarikan bentuk
dasar ketuk tilu, tetapi dengan tempo musik yang dipercepat. Sehingga
membuat penari menjadi lebih aktif. Ia juga mempertahankan bentuk
tradisioanl ketuk tilu, di mana penari merangkap sebagai penyanyi,
tetepi dipadukan dengan gamelan urban dengan ditambah suara kendang.
Nama jaipong adalah onomatope dari suara kendang yang sering terdengar
di antara tarian ini. Mulut penonton dan pemain musik biasanya
meneriakan aksen tiruan dari suara kendang: ja-i-pong, ja-ki-nem, atau ja-i-nem. Ada juga yang mengatakan bahwa nama jaipong mengacu pada bunyi kendang: plak, ping, pong.
Pada awal kemunculannya, jaipong merupakan tarian modern yang berbeda
dari tarian-tarian tradisional Sunda sebelumnya yang mengedepankan
sopan santun dan kehalusan budi para penarinya. Penari (yang biasanya
perempuan) bahkan menundukkan pandangannya, dan tak boleh menatap
pasangannya. Lain dengan jaipong yang pada saat itu terpengaruh juga
oleh budaya dansa Barat di ball room, penari diharuskan fokus menatap pasangannya sebagai bentuk komunikasi visual.
Tari jaipong mulai ditampilkan di depan umum pada 1974 dalam Hong
Kong Arts Festival, melibatkan penyanyi-penari Tatih Saleh, Gugum
Gumbira sebagai koreografer, dan Nandang Barmaya, seorang musisi
sekaligus dalang. Ketika itu pemerintah sempat berupaya melarang tarian
ini karena dirasa cenderung amoral dan sensual. Tetapi alih-alih
meredup, jaipong malah makin populer, terutama di era 80-an. Bentuk tari
jaipong kala itu tidak lagi disajikan sebagai tarian pergaulan seperti
ronggeng, tayub atau ketuk tilu, di mana posisi penonton sejajar dengan
penari, tetapi sebagai tarian panggung. Jaipong biasa dilakukan oleh
penari perempuan, tetapi bisa juga dilakukan secara berpasangan
Senin, 03 Februari 2014
Sejarah Tari Jaipong
Tari ini diciptakan oleh seorang seniman asal Bandung, Gugum gumbira, sekitar tahun 1960-an, dengan tujuan untuk menciptakan suatu jenis musik dan tarian pergaulan yang digali dari kekayaan seni tradisi rakyat Nusantara, khususnya Jawa Barat. Meskipun termasuk seni tari kreasi yang relatif baru, jaipongan dikembangkan berdasarkan kesenian rakyat yang sudah berkembang sebelumnya, seperti Ketuk tilu, Kliningan, serta ronggeng. Perhatian Gumbira pada kesenian rakyat yang salah satunya adalah Ketuk Tilu menjadikannya mengetahui dan mengenal betul perbendaharan pola-pola gerak tari tradisi yang ada pada Klinangan/bajidoran atau Ketuk Tilu. Gerak-gerak bukaan, pencugan, nibakeun dan beberapa ragam gerak mincid dari beberapa kesenian menjadi inspirasi untuk mengembangkan kesenian jaipongan.
Sebelum bentuk seni pertunjukan ini muncul, ada beberapa pengaruh yang melatarbelakangi terbentuknya tari pergaulan ini. Di kawasan perkotaan Priangan misalnya, pada masyarakat elite, tari pergaulan dipengaruhi dansa Ball Room dari Barat. Sementara pada kesenian rakyat, tari pergaulan dipengaruhi tradisi lokal. Pertunjukan tari-tari pergaulan tradisional tak lepas dari keberadaan ronggeng dan pamogoran. Ronggeng dalam tari pergaulan tidak lagi berfungsi untuk kegiatan upacara, tetapi untuk hiburan atau cara bergaul. Keberadaan ronggeng dalam seni pertunjukan memiliki daya tarik yang mengundang simpati kaum pamogoran. Misalnya pada tari Ketuk Tilu yang begitu dikenal oleh masyarakat Sunda, diperkirakan kesenian ini populer sekitar tahun 1996. Sebagai seni pertunjukan rakyat, kesenian ini hanya didukung oleh unsur-unsur sederhana, seperti waditra yang meliputi Rebab , kendang, dua buah kulanter, tiga buah ketuk, dan gong. Demikian pula dengan gerak-gerak tarinya yang tidak memiliki pola gerak yang baku, kostum penari yang sederhana sebagai cerminan kerakyatan.
Seiring dengan memudarnya jenis kesenian di atas, mantan pamogoran
(penonton yang berperan aktif dalam seni pertunjukan Ketuk Tilu/Doger/tayub) beralih perhatiannya pada seni pertunjukan Kliningan, yang di daerah Pantai Utara Jawa Barat (Karawang,Bekasi,Purwakarta,Indramayu, dan Subang)
dikenal dengan sebutan Kliningan Bajidoran yang pola tarinya maupun
peristiwa pertunjukannya mempunyai kemiripan dengan kesenian sebelumnya
(Ketuk Tilu/Doger/Tayub). Dalam pada itu, eksistensi tari-tarian dalam Topeng Banjet cukup digemari, khususnya di Karawang, di mana beberapa pola gerak
Bajidoran diambil dari tarian dalam Topeng Banjet ini. Secara
koreografis tarian itu masih menampakan pola-pola tradisi (Ketuk Tilu)
yang mengandung unsur gerak-gerak bukaan, pencugan, nibakeun dan
beberapa ragam gerak mincid yang pada gilirannya menjadi dasar
penciptaan tari Jaipongan. Beberapa gerak-gerak dasar tari Jaipongan
selain dari Ketuk Tilu, Ibing Bajidor serta Topeng Banjet adalah Tayuban
dan Pencak silat.
Tarian ini mulai dikenal luas sejak 1970-an. Kemunculan tarian karya
Gugum Gumbira pada awalnya disebut Ketuk Tilu perkembangan, yang memang
karena dasar tarian itu merupakan pengembangan dari Ketuk Tilu. Karya
pertama Gugum Gumbira masih sangat kental dengan warna ibing Ketuk Tilu,
baik dari segi koreografi maupun iringannya, yang kemudian tarian itu
menjadi populer dengan sebutan Jaipongan.
Seni Tari Jaipong
Jaipongan dilihat dari sagi kebudayaan sangat baik dan menarik karena dapat melestrikan dan menjaga budaya jawa barat. Dalam jaipongan, para penari tidaklah menggunakan kostum/busana secara yang tidak sewajarnya. Mereka seharusnya dapat membedakan antara budaya dalam negeri dan luar negeri dan seharusnya mereka menggunakan kostum/busana yang sewajarnya sehingga lebih enak dilihatnya dan tidak ada kesalahpahaman .
Ilmu budaya dasar menyadarkan kita betapa pentingnya hubungan manusia dan kebudayaan dari segi manusia yang dapat menjaga harga diri manusia dan pentingnya nilai budaya dalam begeri ini baik dengan car melestarikan dan menjaganya atau dengan cara mencintai budaya dalam negeri sendiri. Jaipongan ada cirri khas di jawa barat dan kita sebagai masyarakat jawa barat harus bisa menjaga dan melestarikan .
Langganan:
Postingan (Atom)